Powered By Blogger

Minggu, 19 Februari 2012

Senin, 13 Februari 2012

Senin, 06 September 2010

blog fathan

HARI RAYA IDUL FITRI HARI KEMENANGGAN


Idul fitri
HARI KEMENANGAN

Merayakan Idul Fitri 1 Syawal 1430 H sebagai tanda dari berakhirnya seluruh rangkaian ibadah di bulan Ramadhan. Setelah sebulan penuh kita melakukan tarbiyah Ramadhan dengan menunaikan puasa, shalat, qiyam, tilawah, dzikir, doa, mengeluarkan zakat, infak dan shadaqah. Maka kita berharap menjadi orang-orang yang bertaqwa, orang-orang yang dijanjikan Allah mendapat kemenangan atau kesuksesan. Kemenangan atas hawa nafsu, kemenangan atas setan, kemenangan atas kegelisahan dan kebimbangan, kemenangan atas ketidakberdayaan dan kemalasan, kemenangan atas musuh-musuhnya. Dan menang atau sukses dalam membangun peradaban.

Sudah selayaknya hari ini kita bergembira dan berbahagia. Bergembira karena telah berhasil menunaikan kewajiban ibadah Ramadhan. Kegembiraan itu direfleksikan dengan syukur dan mengagungkan asma Allah. Takbir, Tahlil dan Tahmid. Allahu akbar 3 x Laa Ilaha illlah Allahu Akbar Walillahilhamd

Sementara kegembiraan yang tidak didahului ketaatan adalah kegembiraan yang semu. Hari Raya yang tidak didahului ibadah Ramadhan adalah hari yang hampa tanpa makna. Walaupun memakai baju baru, memakan makanan yang enak, berkumpul dengan keluarga dan berrekreasi di tempat-tempat hiburan.

Setiap tahun kita melaksanakan ibadah Ramadhan dan hampir tiap tahun pula kita merayakan Idul Fitri. Tetapi adakah yang berubah dalam diri kita, keluarga kita, masyarakat kita dan bangsa kita. Adakah perubahan kearah yang lebih baik ? Sudahkan kita meraih kesuksesan hidup, kesuksesan berupa kebaikan kualitas hidup kita dari sisi keagamaan, kesejahteraan, keadilan dan keamanan ?
Kita menyaksikan masih sangat sedikit orang-orang yang sukses dalam menjalankan ibadah Ramadhan. Dan kita juga melihat masih sangat sedikit orang-orang yang sukses dan menang dalam mengisi kehidupan di dunia yang terbatas ini serta menang dalam membangun peradaban. Akibatnya, yang terjadi adalah dominasi kemaksiatan dan kejahatan atas ketaatan dan kebaikan, dominasi musibah dan kesulitan atas keberkahan dan kesejahteraan, dominasi orang-orang fasik dan jahat atas orang-orang shalih dan baik. Jika yang terjadi demikian, maka badai krisis belum pasti berlalu. Dan Indonesia masih mencerminkan kondisi tersebut, walaupun mayoritas penduduknya beragama Islam.

Setiap hari raya Idul Fitri kita senantiasa mengucapkan ucapan selamat :

تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ مِنَ العَائِدِيْنَ وَالفَائزين كُلُّ عَامٍ وَأَنْتُمْ بِخَيْرٍ

Semoga Allah menerima Amal ibadah kita semua, semoga kita kembali menjadi fitrah dan meraih kesuksesan. Dan semoga setiap tahun kita selalu dalam kebaikan.
Sukses dalam hidup dan menang dalam membangun peradaban adalah ketika umat Islam melandasi hidupnya pada prinsip-prinsip dasar dan nilai-nilai Islam berikut:

1. Keimanan

Banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi saw. yang menyebutkan bahwa persyaratan pertama untuk meraih kemenangan atau kesuksesan adalah jika umat Islam melandasi hidupnya dengan nilai-nilai keimanan. Keimanan pada yang ghaib, keimanan pada Allah, Malaikat, kitab suci Al-Qur’an, para rasul, hari akhir dan keimanan pada taqdir Allah.

قد أفلح الؤمنون

“Sungguh telah sukses (menang) orang-orang beriman” (QS Al-Mu’minun 1)

Adapun orang-orang yang hidupnya mewah dari segi fasilitas harta dan kedudukan di dunia sementara dia tidak beriman kepada Allah, maka dia tidak sukses. Karena kesuksesannya dibatasi dengan kematian. Sedangkan orang yang miskin dan tidak beriman, mereka lebih parah lagi, mereka gagal di di dunia dan menderita di akhirat. Bagi orang-orang yang mapan di dunia, sangat berkecukupan dan mewah, tetapi tidak beriman, maka mereka akan merasakan siksan neraka yang sangat sakit dan terus dalam kesakitan yang kekal. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda: “ Didatangkan orang yang paling senang di dunia sedang dia adalah ahli neraka. Dia dicelupkan satu kali celupan di neraka. Kemudian dikatakan padanya,” Wahai anak Adam apakah pernah engkau merasakan kebaikan (di dunia). Apakah lewat padamu kenikmatan dunia ? Maka orang itu menjaab,” Tidak demi Allah wahai Rabb ku”. Dan didatangkan orang yang paling menderita di dunia sedang dia adalah ahli surga. Lalu dicelupkan satu kali celupan di surga. Kemudian dikatakan padanya,” Wahai anak Adam apakah engkau pernah merasakan penderitaan di dunia apakah lewat pada kesusahan di dunia ? Maka dia menjawabnya, ” Tidak demi Allah, tidak pernah lewat padaku penderitaan dan kesulitan sedikitpun di dunia” (HR Muslim).

يَوْمَئِذٍ يَصْدُرُ النَّاسُ أَشْتَاتًا لِيُرَوْا أَعْمَالَهُمْ

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ

وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

“Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam Keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka, Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula” (Az-zalzalah 6-8)

وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ

”Dan sungguh telah Kami tulis didalam Zabur sesudah (kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini diberikan kepada hamba-hambaKu yang saleh” (QS Al-Anbiyaa 105).

2. Ilmu

Pilar kedua yang harus dimiliki oleh kita agar sukses dalam hidup dan dapat membangun peradaban adalah ilmu dan terus-menerus menimba ilmu baik ilmu Syariah maupun ilmu umum. Setiap muslim hendaknya meningkatkan etosnya dalam menuntut ilmu dan berupaya memiliki minimal satu disiplin ilmu yang kuat untuk meraih kesuksesan hidup dan membangun peradaban. Tidak dapat dipungkiri bahwa diantara kesuksesan hidup di dunia dan dominasi barat di abad sekarang karena mereka menguasai ilmu dan teknologi. Sehingga umat Islam harus mengejar ketertinggalan dalam bidang ilmu ini.

Generasi salafu salih pendahulu kita telah memberikan contoh terbaik dalam ilmu, penguasaan mereka terhadap ilmu dan mengajarkan ilmu sehingga mereka memenangkan peradaban. Tidak kurang dari 13 abad umat Islam menguasai peradaban dunia karena keimanan dan ilmu mereka. Ali bin Abi Thalib, Muadz bin Jabbal, abu Hurairah, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas dll adalah bintang bintang dalam dunia ilmu di masa sahabat. Di masa berikutnya ada Said bin al-Musayyib, Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin, Abu Hanifah, Imam Malik, Imam As-Syafi’i, Imam Ahmad dll. Dan dalam bidang ilmu kauniyah lebih banyak lagi.

Jika umat Islam sekarang ingin sukses dan memenenagkan peradaban, maka mereka harus menguasai ilmu disetiap bidang ilmu dan dispilinnya.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ

وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

”… Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS Al-Mujaadalah 11).

Allahu Akbar 3 x wa lillahil hamd
3. Amal Shalih

Pilar ketiga yang harus dilakukan kita untuk meraih kesuksesan hidup adalah amal shalih. Amal shalih mencakup unsur-unsur; ikhlas, baik, kompetensi dan profesional. Sedangkan ruang lingkup amal shalih adalah amal ta’budi, amal ijtima’i, amal mihani dan amal ishlahi Kita harus terus beramal untuk meraih kesuksesan hidup dan membangun peradaban. Iman dan ilmu tanpa amal tidak akan sempurna.

4. Mujahadah

Selanjutnya umat Islam harus bersungguh-sungguh dalam semua lapangan kehidupannnya. Bagi umat Islam tidak ada istilah libur dari amal shalih, tidak ada istilah pansiun dari ibadah, tidak ada istilah cuti dari kebaikan. Dinatara contohnya, ketika umat Islam selesai menunaikan shalat Jum’at mereka disuruh bertebaran di muka bumi untuk mencari karunia Allah. Setelah umat Islam menunaikan ibadah Ramadhan dan ditutup dengan Idul Fitri mereka dianjurkan untuk puasa sunnah 6 hari di bulan Syawal dan menguatkan shilaturahmi.

Pilar-pilar itulah yang mengantarkan kesuksesan bagi umat Islam. Dan dengan pilar-pilar Pearadaban tegak. Dan sesungguhnya kiat untuk meraih kesuksesan dan peradaban di dunia sama dengan dengan kiat untuk meraih kesuksesan di akhirat. Kiat itu adalah iman, beriman pada Allah dan beriman pada ajaran Islam kemudian diteruskan dengan, penguatan ilmu, amal shalih, dan terus bermujahadah, menyuruh pada yang benar dan baik serta bersabar atas itu semua.

Dan terakhir, marilah kita menjadikan keimanan dan ketaqwaan sebagai perhiasan hidup kita. Ketaqwaan bukan hanya diucapkan dalam mulut, tetapi direalisasikan dalam prilaku dan perbuatan. Ketaqwaan adalah sebuah hakekat, bukan klaim atau akuan, bukan pula pameran dan kepura-puraan. Kita menyerahkan segala urusan kepada Allah, beristighfar, bertaubat dan terus-menerus melakukan kebaikan, dakwah serta amar ma’ruf dan nahi mungkar agar kita mendapatkan keberkahan hidup, kesuksesan di dunia dan akhirat.

SELAMAT MENYAMBUT HARI RAYA IDUL FITRI 1 sawal 1431 H.
MINAL AIDIN WALFA IDIN MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN! Semoga kita termasuk Orang-orang yang mendapat Kemenangan Amin!

Sabtu, 15 Mei 2010

Sifat yang muliya

Sifat yang Mulia

Kejujuran adalah sifat yang agung, akhlak yang mengelokkan pemiliknya dan mengangkat sebutanya. Orang yang jujur selalu dicintai manusia. Barang siapa yang banyak jujurnya, niscaya “bersinarlah” hatinya dan kuatlah “pandangannya”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dikenal dengan kejujuran dan amanahnya, bahkan sebelum beliau menjadi Nabi.


“Sesungguhnya kejujuran mengantarkan kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan kepada surga. Sesungguhnya seseorang biasa berlaku jujur hingga ia disebut shiddiq (orang yang senantiasa jujur). Sedang dusta mengantarkan kepada perilaku menyimpang (dzalim) dan perilaku menyimpang mengantarkan kepada neraka. Sesungguhnya seseorang biasa berlaku dusta hingga ia disebut pendusta besar.”

Untaian kata-kata di atas adalah hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu yang terhimpun dalam Kitab Hadits Bukhari, Muslim dan Tirmidzi. (HR Bukhari dalam shahihnya bab Adab); (HR Muslim dalam shahihnya bab Al-Birr); (HR Tirmidzi dalam sunannya bab Al-Birr).


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman,bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur”, (QS: At-Taubah: 119). Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Jikalau mereka jujur kepada Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka”, (QS: Muhammad: 21)

“Jujur ialah kesesuaian ucapan dengan hati kecil dan kenyataan objek yang dikatakan” (Fathul Baari, jilid X).

Berkaitan dengan makna hadits di atas, para ulama mengatakan bahwa sikap jujur dapat mengantarkan kepada amal shaleh yang murni dan selamat dari celaan. Sedang kata “al-birr” (kebaikan) adalah istilah yang mencakup seluruh kebaikan. Pendapat lain mengatakan bahwa “al-birr” berarti surga, sedangkan dusta dapat mengantarkan kepada perilaku menyimpang (kedzaliman).

“ Janganlah engkau melihat kualitas diri seseorang itu dari panjang rukuk dan sujudnya, tetapi lihatlah dari kejujuran dan kesetiaan dalam menjalankan amanah”, demikian nasihat Imam Ja’far Ash-Shadiq. Hal ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala , yang artinya : “ Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan bersama-sama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shadiqin (orang-orang jujur dan mencintai kebenaran), orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang yang shaleh. Dan mereka itu teman sebaik-baiknya”, (QS. An-Nisa: 69). Sikap jujur termasuk keharusan di antara sekian keharusan yang harus diterapkan, dia menjadi fundamen penting dalam membangun komunitas masyarakat. Tanpa sikap jujur, seluruh ikatan masyarakat akan terlepas, karena tidak mungkin membentuk suatu komunitas masyarakat sedang mereka tidak berhubungan sesamanya dengan jujur.

Hakikat kejujuran adalah meraih sesuatu dengan sempurna, menyempurnakan kekuatan dan menyatukan seluruh bagiannya. Kejujuran ada pada niat, ucapan dan amalan. Sikap jujur merupakan naluri dari setiap manusia. Cukup sebagai bukti bahwa anak kecil jika diceritakan tentang sosok seorang yang jujur di satu sisi, dan di sisi lain diceritakan sosok seorang pendusta, engkau lihat, dia akan menyukai orang jujur dan membenci pendusta.

Imam Fudhail bin Iyadh berkata: “Seseorang tidak berhias dengan sesuatu yang lebih utama daripada kejujuran (Hilyatul Auliya, jilid VIII).

Ibnul Qayyim Al Jauziyah, menyatakan, orang jujur yang kuat, adalah orang yang betah bersama Allah, baik pada saat banyak orang maupun pada saat menyendiri. Beliau berkata, “Adapun orang yang betah bersama Allah saat menyendiri saja, tak pernah betah tat kala banyak orang adalah orang jujur namun lemah. Dan orang yang betah bersama Allah di tengah orang banyak, namun tidak betah tat kala menyendiri dan sepi, ia orang sakit.”

“Akhlak terpuji bersumber dari sabar, berani, adil, pemuarh, penyantun, pemaaf, memelihara kesucian, tabah, mendahulukan orang lain, jujur, menghargai jasa orang lain” kata Ibnul Qayyim. Sedangkan sumber akhlak tercela, beliau menunjukkan kibr (sombong) yang melahirkan bangga diri, zalim, hasad, ujub, tirani, senang popularitas, rakus, licik dan kikir

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kita petunjuk, kekuatan dan hidayah-Nya agar bisa memiliki sifat mulia (jujur) ini dan mempertahankannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga menjadi amal shaleh yang akan mengantar kita kepada Jannah-Nya. Amiin.

Amanah

Amanah

Rasulullah saw. bersabda, “Tiada iman pada orang yang tidak menunaikan amanah; dan tiada agama pada orang yang tidak menunaikan janji.” (Ahmad dan Ibnu Hibban)

Amanah adalah kata yang sering dikaitkan dengan kekuasaan dan materi. Namun sesungguhnya kata amanah tidak hanya terkait dengan urusan-urusan seperti itu. Secara syar’i, amanah bermakna: menunaikan apa-apa yang dititipkan atau dipercayakan. Itulah makna yang terkandung dalam firman Allah swt.: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah-amanah kepada pemiliknya; dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kalian menetapkan hukum dengan adil.” (An-Nisa: 58)

Ayat di atas menegaskan bahwa amanah tidak melulu menyangkut urusan material dan hal-hal yang bersifat fisik. Kata-kata adalah amanah. Menunaikan hak Allah adalah amanah. Memperlakukan sesama insan secara baik adalah amanah. Ini diperkuat dengan perintah-Nya: “Dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kalian menetapkan hukum dengan adil.” Dan keadilan dalam hukum itu merupakan salah satu amanah besar.

Itu juga diperjelas dengan sabda Rasulullah saw., “Setiap kalian adalah pemimpin dan karenanya akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Amir adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Lelaki adalah pemimpin di tengah keluarganya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan atas anak-anaknya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentangnya. Seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentang itu. Dan setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.” (Muttafaq ‘Alaih)

Dan Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya Kami menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Namun mereka menolak dan khawatir untuk memikulnya. Dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim lagi amat bodoh.” (Al-Ahzab 72)

Dari nash-nash Al-Qur’an dan sunnah di atas nyatalah bahwa amanah tidak hanya terkait dengan harta dan titipan benda belaka. Amanah adalah urusan besar yang seluruh semesta menolaknya dan hanya manusialah yang diberikan kesiapan untuk menerima dan memikulnya. Jika demikian, pastilah amanah adalah urusan yang terkait dengan jiwa dan akal. Amanah besar yang dapat kita rasakan dari ayat di atas adalah melaksanakan berbagai kewajiban dan menunaikannya sebagaimana mestinya.

Amanah dan Iman

Amanah adalah tuntutan iman. Dan khianat adalah salah satu ciri kekafiran. Sabda Rasulullah saw. sebagaimana disebutkan di atas menegaskan hal itu, “Tiada iman pada orang yang tidak menunaikan amanah; dan tiada agama pada orang yang tidak menunaikan janji.” (Ahmad dan Ibnu Hibban)

Barang siapa yang hatinya kehilangan sifat amanah, maka ia akan menjadi orang yang mudah berdusta dan khianat. Dan siapa yang mempunyai sifat dusta dan khianat, dia berada dalam barisan orang-orang munafik. Disia-siakannya amanah disebutkan oleh Rasulullah saw. sebagai salah satu ciri datangnya kiamat. Sebagaimana disampaikan Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya–, Rasulullah saw. bersabda, “Jika amanah diabaikan maka tunggulah kiamat.” Sahabat bertanya, “Bagaimanakah amanah itu disia-siakan, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran.” (Al-Bukhari)

Macam-macam Amanah

Pertama, amanah fitrah. Dalam fitrah ada amanah. Allah menjadikan fitrah manusia senantiasa cenderung kepada tauhid, kebenaran, dan kebaikan. Karenanya, fitrah selaras betul dengan aturan Allah yang berlaku di alam semesta. Allah swt. berfirman: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul, (Engkau Tuhan kami) kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (Al-A’raf: 172)

Akan tetapi adanya fitrah bukanlah jaminan bahwa setiap orang akan selalu berada dalam kebenaran dan kebaikan. Sebab fitrah bisa saja terselimuti kepekatan hawa nafsu dan penyakit-penyakit jiwa (hati). Untuk itulah manusia harus memperjuangkan amanah fitrah tersebut agar fitrah tersebut tetap menjadi kekuatan dalam menegakkan kebenaran.

Kedua, amanah taklif syar’i (amanah yang diembankan oleh syari’at). Allah swt. telah menjadikan ketaatan terhadap syariatnya sebagai batu ujian kehambaan seseorang kepada-Nya. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menetapkan fara-idh (kewajiban-kewajiban), maka janganlah kalian mengabaikannya; menentukan batasan-batasan (hukum), maka janganlah kalian melanggarnya; dan mendiamkan beberapa hal karena kasih sayang kepada kalian dan bukan karena lupa.” (hadits shahih)

Ketiga, amanah menjadi bukti keindahan Islam. Setiap muslim mendapat amanah untuk menampilkan kebaikan dan kebenaran Islam dalam dirinya. Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang menggariskan sunnah yang baik maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang rang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahalanya sedikit pun.” (Hadits shahih)

Keempat, amanah dakwah. Selain melaksanakan ajaran Islam, seorang muslim memikul amanah untuk mendakwahkan (menyeru) manusia kepada Islam itu. Seorang muslim bukanlah orang yang merasa puas dengan keshalihan dirinya sendiri. Ia akan terus berusaha untuk menyebarkan hidayah Allah kepada segenap manusia. Amanah ini tertuang dalam ayat-Nya: “Serulah ke jalan Rabbmu dengan hikmah dan nasihat yang baik.” (An-Nahl: 125)

Rasulullah saw. juga bersabda, “Jika Allah memberi petunjuk kepada seseorang dengan usaha Anda, maka hal itu pahalanya bagi Anda lebih dibandingkan dengan dunia dan segala isinya.” (al-hadits)

Kelima, amanah untuk mengukuhkan kalimatullah di muka bumi. Tujuannya agar manusia tunduk hanya kepada Allah swt. dalam segala aspek kehidupannya. Tentang amanah yang satu ini, Allah swt. menegaskan: “Allah telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wahyukan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kalian berpecah-belah tentangnya.” (Asy-Syura: 13)

Keenam, amanah tafaqquh fiddin (mendalami agama). Untuk dapat menunaikan kewajiban, seorang muslim haruslah memahami Islam. “Tidaklah sepatutnya bagi orang-orang yang beriman itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama.” (At-Taubah: 122)

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55)

Jumat, 14 Mei 2010

* _Udara dingin ciptakan suasana hangt bersahabat bersama orang2 terkasih, jadikan hidup terasa lebih hidup..
* _Takan lari gunung dikejar, takan runtuh lagit untuk beratap, takan amblas bimi tuk berpijak,,, takkan apa lg ya??